Tata Kelola Batam Harus Mengacu Pada UU
Anggota Komisi II DPR RI Firman Soebagyo. Foto: Erman/rni
Anggota Komisi II DPR RI Firman Soebagyo menjelaskan prinsip dasar tata kelola pemerintahan dan negara termasuk juga di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau harus mengedepankan dan mengacu kepada peraturan perundang-undangan. Ketika Dewan Kawasan menentukan sikap bahwa jabatan Wali Kota dan BP Batam akan dirangkap secara ex-officio, menurutnya akan menimbulkan banyak masalah.
“Karena ini menabrak berbagai peraturan perundang-undangan. Ini yang tidak boleh. Artinya, kalau kepala negara kepala pemerintahan dan kemudian menabrak peraturan perundang-undangan ini akan sangat berisiko,” tegas Firman setelah mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Ketua Kadin Kepulauan Riau dan Kadin Kota Batam di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (12/3/2019).
Diketahui, pemerintah berencana menerapkan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) Perubahan Kedua atas PP 46 tahun 2007. Dengan adanya perubahan atas pasal tersebut, diduga tidak selaras dengan peraturan perundangan yang berlaku, diantaranya UU Nomor 53 Tahun 1999 Pasal 21 dan PP Nomor 46 Tahun 2007 Pasal 3 dan 4. Dikhawatirkan, RPP Perubahan PP 46 Tahun 2007 itu dijadikan pintu masuk dibolehkannya rangkap jabatan ex-officio Pimpinan BP Batam oleh Wali Kota Batam.
“Kewajiban kita adalah mengingatkan presiden. Jangan sampai presiden ‘dijerumuskan’ dengan kebijakan yang bertentangan dengan undang-undang, kami tidak rela. Oleh karena itu, sebagai anggota dewan tentunya kami perlu mengingatkan,” ujar politisi Fraksi Partai Golkar itu.
Firman menambahkan, banyak kepentingan-kepentingan besar di Batam, terutama kepentingan ekonomi. Dan akan sangat berbahaya ketika Kepala BP Batam itu dirangkap jabatan oleh Wali Kota Batam. “Ini akan menjadi abused of power, kepentingan politik yang dicampuradukkan dengan kepentingan bisnis,” tambahnya.
Saat ini, 350 ribu Usaha Kecil Menengah (UKM) di Batam mulai mengalami kebangkrutan, bukan tidak mungkin pengangguran di Batam akan meningkat drastis akibat dari ketidakpastian hukum. Padahal negara sendiri sangat membutuhkan penerimaan yang bersumber dari pajak yang dikelola oleh pelaku usaha.
“Akan banyak kerugian-kerugian besar yang kita hadapi ketika itu terjadi. Akan berlaku dampak ekonomi, sosial, politik serta dampak-dampak lainnya yang akan kita hadapi sebagai konsekuensi dari suatu kebijakan yang tidak fair,” pungkas legislator dapil Jawa Tengah itu. (es/sf)